Jakarta–
Membeli rumah harus ekstra hati-hati karena perlu pengecekan di setiap aspek. Bila tidak, maka urusan menjadi berkepanjangan.
Hal itu menjadi pertanyaan pembaca detik’s Advocate, yaitu:
Kepada YthRedaksi detikcom
Dear detik’s advocate
Pada bulan September 2023, kami telah melakukan akad kredit rumah subsidi salah satu developer di kota Padang. Yang sebelumnya saya telah melunasi DP dan biaya kelebihan tanah.
Pada saat akad di bank, dokumen yang kami dapatkan cuma surat Perjanjian Kredit. Ternyata setelah kredit jalan 3 bulan, jalan menuju perumahan subsidi kami dipasang pagar seng oleh pemilik tanah sehingga mengharuskan kami untuk berjalan kaki menuju rumah subsidi tersebut. Dengan pengumuman ‘Dilarang Masuk, Tanah Belum Lunas’.
Dan terkejutnya kami lagi ternyata pembeli yang telah membayar cash sejak dua tahun lalu sampai sekarang belum menerima sertifikat atas rumah mereka.
Yang mau saya tanyakan:1. Apakah aman bagi kami untuk melanjutkan kredit untuk rumah subsidi ini?2. Apakah kredit yang telah kami tandatangani di bank dapat kami batalkan? karena banyak pengalaman yang saya dengar dari pembeli developer lain, setelah kredit pembeli lunas banyak dari mereka yang belum menerima sertifikat dengan alasan belum pecah sertifikat. Sehingga kami merasa sebelum itu terjadi, alangkah baiknya jika dari sekarang kami stop untuk melanjutkan pembayaran.
3. Jika bank atau developer tidak menyetujui pembatalan kredit kami dengan alasan sertifikat yang belum jelas, apa yang sebaiknya kami lakukan agar di kemudian hari tidak terjadi hal yang tidak diinginkan?
Mohon bantuannya tim detik advocate.
Untuk menjawab masalah di atas, kami meminta pendapat hukum dari advokat Virza Roy Hizzal SH MH. Berikut jawaban lengkapnya:
Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi adalah kredit/pembiayaan pemilikan rumah yang mendapat bantuan dan/atau kemudahan perolehan rumah bagi pemerintah berupa dana murah jangka panjang dan subsidi perolehan rumah yang diterbitkan oleh bank pelaksana baik secara konvensional maupun dengan prinsip syariah.
Bahwa saya menganalisa dari keterangan yang anda sampaikan bahwa persoalan terjadi Ketika warga sekitar yang merupakan pemilik tanah berupa jalan menuju perumahan belum dibebaskan/dibayar seluruhnya oleh developer sehingga timbul masalah penutupan akses jalan menuju perumahan.
Menurut kami ada kesalahan dari pihak developer di mana seharusnya sejak awal ketika menawarkan penjualan rumah kepada anda selaku pembeli, menjamin bahwa penguasaan rumah yang akan dijual memiliki legalitas yang jelas termasuk fasilitas sosial dan fasilitas umum berupa akses jalan menuju perumahan tersebut;
Pasal 1491KUHPerdatamenyatakan penanggungan yang menjadi kewajiban penjual terhadap pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu:pertama, penguasaan barang yang dijual itu secara aman dan tenteram;kedua,tiadanya cacat yang tersembunyi pada barang tersebut, atau yang sedemikian rupa sehingga menimbulkan alasan untuk pembatalan pembelian.
Maka, berdasarkan hal tersebut penjual barang atau objek harus memastikan jika barang/ objek yang ia jual tidak cacat hukum.Ketika terdapat cacat hukum atau melanggar hukum terhadap barang/ objek tersebut, maka berakibat perjanjian jual-beli batal dan si penjual dapat dituntut untuk mengembalikan seluruh uang yang telah diserahkan si pembeli.
Hal ini juga berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No. 2186 K/Pdt/1999 tanggal 2 Januari 2000yang memuat kaidah pada pokoknya:
“Developer yang membangun rumah di atas tanah jalur hijau dan melanggar garis sempadan sungai dapat dibatalkan. Ini merupakan suatu cacat tersembunyi yang tidak diketahui penggugat (pembeli). Developer telah melakukan perbuatan melawan hukum”
Bahwa akses jalan merupakan hak servituut oleh pemilik rumah. Namun seyogyanya developer ketika menjual rumah kepada anda sudah menjamin adanya akses jalan ini dan tidak bermasalah, sehingga tidak menjadi persoalan anda dengan warga sekitar pemilik tanah. Di sisi lain, pihak-pihak pemilik tanah di sekitar juga berkewajiban memberikan akses jalan bagi perumahan/pemilik rumah sebagaimana aturan berikut:
Bahwa Pasal 667 KUH Perdata menyebutkan:
Pemilik sebidang tanah atau pekarangan yang terletak di antara tanah-tanah orang lain sedemikian rupa sehingga ia tidak mempunyai jalan keluar sampai ke jalan umum atau perairan umum,berhak menuntut kepada pemilik-pemilik pekarangan tetangganya, supaya diberi jalan keluar untuknya guna kepentingan tanah atau pekarangannya dengan kewajiban untuk membayar ganti rugi, seimbang dengan kerugian yang diakibatkannya.
Pasal 668 KUH Perdata menyebutkan:
“Jalan keluar ini harus dibuat pada sisi tanah atau pekarangan yang terdekat ke jalan atau perairan umum, tetapi sebaliknya diambil arah yang mengakibatkan kerugian yang sekecil-kecilnya terhadap tanah yang diizinkan untuk dilalui itu.”
Terkait persoalan developer dengan warga sekitar pemilik tanah akses jalan, Pasal 667 KUH Perdata sebagaimana disebut di atas memberikan opsiganti kerugian yang seimbang dengan kerugian yang diakibatkan oleh pemberian jalan keluar. Oleh karena itu, apabila dalam suatu situasi, terdapat ganti kerugian yang tidak wajar (sangat tinggi) dan tidak seimbang dengan kerugian yang diakibatkan, Developer dapat melakukan upaya hukum melalui gugatan perdata. Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hal ini tidak lepas dari ketentuan mengenai kepemilikan tanah di Indonesia bukan merupakan kepemilikan tanah yang mutlak, melainkan kepemilikan tanah yang menganut asas fungsi sosial. Artinya, pemilik tanah tidak dapat memanfaatkan tanahnya untuk apa saja sesuai kehendak pemilik karena dapat melanggar hak orang lain.
Dalam hal pemilik tanah yang dekat dengan jalan umum menutup satu-satunya akses tersebut, dan menguasai akses yang seharusnya menjadi jalan keluar, maka dapat digugat atas dasar perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Developer yang membangun perumahan dan akan menjual kepada Masyarakat pembeli seharusnya sudah menyelesaikan persoalan akses jalan ini. Karena juga dapat menjadi persoalan pidana penipuan maupun persoalan perlindungan konsumen.
Untuk menjawab pertanyaan anda diatas, maka mengenai aman atau tidak amannya, terkait pemilikan tanah/rumah yang dijual oleh developer legalitiasnya harus jelas. Anda tidak menyebutkan status sertipikat induk developer apakah sudah berupa SHM/SHGB, juka sudah, maka aman.
Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti kepemilikan yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Namun kami asumsikan oleh karena dalam proses KPR, maka pihak Bank pasti sudah bersikap hati-hati sehingga dapat diasumsikan tanah yang dijual developer tersebut sudah bersertipikat. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai kenyamanan karena akses jalan yang dapat dilalui kendaraan dihalangi oleh warga sekitar, bahkan hak atas akses jalan merupakan bagian dari hak asasi. Mengenai ini menjadi persoalan hukum tersendiri di luar masalah kepemilikan rumah yang seharusnya sudah diselesaikan oleh developer.
Selanjutnya mengenai dapat dibatalkan atau tidak, maka dapat dibatalkan oleh karena developer tidak dapat menyediakan akses jalan ke perumahan yang seyogyanya merupakan kewajiban adanya Fasum dan Fasos, sebagaimana telah kami uraiakan berdasarkan Pasal 1491 KUHPerdata di atas.
Mengenai penerbitan sertipikat yang belum jelas, hal ini berkaitan dengan kepemilikan tanah yang dijual oleh developer seharusnya sudah dijamin legalitas tanahnya sebelum proses jual beli, sehingga tidak dapat terhalangi proses balik namanya jika telah lunas oleh pembeli. Dalam proses KPR, tentunya tanah tersebut seharusnya dalam keadaan diletakkan Hak Tanggungan atas pihak Bank. Jadi jika ingin mengajukan pembatalan, sebaiknya memakai alasan ketiadaan akses jalan/Fasum atau Fasos sebagaimana di atas yang wajib ketersediaannya oleh Developer.
Terkait uang muka dan cicilan yang sudah berjalan, dapat menuntut ganti rugi pada pihak developer. Meski demikian, untuk prosesnya ini cukup panjang dan melelahkan. Bahkan jika tidak ditemukan kesepakatan, terpaksa anda harus menempuh jalur hukum. Dalam menjalankan transaksi KPR Rumah Subsidi yang di mana agar di kemudian hari tidak terjadi hal yang di inginkan dengan cara melakukanya pengawasan pada awal dilakukanya transaksi KPR Rumah Subsisi yang dimana dalam melakukan akad tersebut pihak Nasabah dan Pihak Bank akan menandatangani Perjanjian Kredit dan telah memenuhi syarat sah nya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dengan ditanda tanganinya perjanjian kredit antara Nasabah dengan Bank pemberi KPR maka kedua belah pihak terikat untuk menjalankan perjanjian sebaik-baiknya mengingat perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, hal ini sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt).
Dalam hukum perikatan apabila salah satu pihak (antara Kreditur dan Debitur) tidak melaksanakan apa yang disanggupi atau dijanjikan maka dapat dikatakan pihak tersebut telah melakukan wanprestasi/ingkar janji.
Demikian penjelasan dari kami
Terima kasih
Virza Roy Hizzal SH MHAdvokat, tinggal di Jakarta