Siapa yang tidak kenal Imam Al-Ghazali? Beliau adalah seorang ulama besar yang sangat dikenal di dunia Timur dan Barat. Beliau dijuluki sebagai Hujjatul Islam, yaitu ulama yang memiliki cakrawala keilmuan melimpah dengan kemampuan argumentasi yang handal dan tajam. Selain sebagai faqih (ahli fikih) dan tasawuf, Al-Ghazali juga seorang pendidik yang visioner.
Pemikirannya tentang pendidikan tertuang dalam berbagai kitabnya yang masih dijadikan rujukan banyak orang. Teori-teorinya masih sangat relevan dengan perkembangan zaman. Bahkan jika dihubungkan dengan konteks pelaksanaan Kurikulum Merdeka saat ini pun masih sangat sesuai dan kontekstual. Orang bilang, pemikiran Al Ghazali selalu aktual yang tak lekang ditelan zaman.
Menurut Al-Ghazali, mendidik anak tidak boleh dilakukan secara parsial, tetapi harus dilakukan secara holistik. Beliau memandang bahwa pendidikan adalah proses pembentukan manusia seutuhnya, baik secara intelektual, spiritual, maupun sosial. Al-Ghazali yang juga ahli di bidang filsafat menekankan pentingnya keseimbangan antara pengembangan akal dan hati.
Dalam kitab magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali memaparkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk pribadi yang “kaamil” (sempurna), yaitu individu yang memiliki ilmu, amal, dan akhlak yang mulia. Jadi, anak tidak cukup disuguhi ilmu pengetahuan semata tanpa dibekali budi pekerti dan keimanan serta ketaatan kepada Sang Pencipta.
Di sinilah pendidikan madrasah yang mengusung pendidikan holistik menemukan urgensinya. Di madrasah tidak hanya diajarkan ilmu-ilmu umum (sains), tetapi juga diajarkan ilmu al-diny (ilmu agama), praktik-praktik keberagamaan moderat, dan pembentukan karakter berbasis pada nilai-nilai ilahiyyah.
Model Pembelajaran Al–Ghazali
Al-Ghazali menawarkan berbagai metode pembelajaran inovatif untuk zamannya dan zaman setelahnya. Bahkan model pembelajarannya “dinilai” masih tetap cocok dengan kebutuhan masa kini. Beberapa model yang diajarkan di antaranya:
Pertama, pembelajaran melalui keteladanan (uswah hasanah). Guru harus menjadi contoh yang baik bagi muridnya. Sikap dan perilaku guru akan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter anak didiknya. Pendapat ini sama dengan apa yang diungkapkan oleh Nashih Ulwan, seorang ilmuan muslim bidang pendidikan yang tertuang dalam bukunya tarbiyatul aulad fil–Islam.
Di dunia keilmuan Barat kita mengenal “social learning theory“, yang digagas oleh Albert Bandura. Menurutnya, pembelajaran dapat dilakukan efektif saat dilakukan secara observasional dengan melihat model yang ditiru (modeling). Tindakan belajar menurut Bandura adalah mengamati serta mencontoh perilaku seseorang sebagai panutan.
Kedua, pembelajaran melalui pembiasaan nilai baik. Al-Ghazali menekankan pada pentingnya internalisasi nilai Asma al-Husna (99 nama-nama Allah yang mulia). Pembiasaan sikap baik yang ada pada asmaul husna merupakan metode efektif untuk menanamkan habituasi anak sebagai pembelajar, khususnya nilai-nilai agama dan moral pada anak. Al-Ghazali menggulirkan sebuah ide pembelajaran dengan habituasi (pembiasaan) bagi anak untuk membangun budaya yang dimulai dari unsur-unsur kecil yang positif.
Teori Al-Ghazali ini “diaminkan” oleh James Clear, –seorang penulis populer Amerika– yang mengatakan bahwa untuk menjadi lebih baik, mulailah dengan melakukan hal kecil, menjaganya tetap konsisten di setiap hari, merencanakan hal baik dengan disertai disiplin dan komitmen tinggi.
Tiga pilar utama mengenai kebiasaan, pengambilan keputusan dan perbaikan yang berkesinambungan sering terdengar di telinga kita. Dalam pemahaman Atomic Habits yang ditulis James Clear bahwa perubahan-perubahan kecil yang dilakukan setiap hari akan memberikan hasil yang luar biasa.
Menurutnya, setiap perbaikan atau perubahan kecil ibarat menambahkan pasir ke sisi positif sebuah timbangan yang lambat laun akan menghasilkan sebuah perubahan besar sepanjang dijalankan secara berkelanjutan. Charles Duhigg, seorang Penulis The Power of Habit, pertama kali mempopulerkan istilah Keystone habit. Keystone Habit adalah sebuah kebiasaan yang secara otomatis dan berkesinambungan membuat seseorang melakukan perilaku-perilaku positif yang memberikan efek baik dalam kehidupan.
Ketiga, pembelajaran melalui kisah-kisah (ta’lim bi al–qishah) dengan cara yang menarik dan mudah agar dipahami oleh anak didik sesuai tingkat perkembangannya. Istilah sekarang, model Al-Ghazali ini disamakan dengan pembelajaran yang asyik dan menyenangkan. Pembelajaran yang melihat anak didik sebagai sosok unik dan berbeda yang memiliki potensi dan energi, sehingga pendidikan dapat menciptakan sosok pembelajar.
Penulis meyakini, bahwa sistem pengajaran (ta’lim) ala Al-Ghazali ini menempatkan anak didik sebagai sosok manusia yang memiliki fitrah yang akan terus berkembang. Al-Ghazali tidak menempatkan anak seperti gelas kosong. Sehingga, pembelajaran bukan semata-mata berfungsi “transfer of knowledge“, tetapi dialektika individu dengan guru, individu dengan dirinya sendiri, individu dengan lingkungannya, dan individu dengan Tuhannya.
Keempat, pembelajaran melalui pembersihan dan pemurnian jiwa (ta’lim al-qalb) yang menjadi inti dari pendidikan Islam Al-Ghazali. Konsep ini tidak hanya sebatas pada aspek kognitif (pengetahuan) semata, tetapi juga mencakup aspek afektif (sikap dan nilai) dan psiko-motorik (keterampilan).
Pendekatan “tazkiyah” ala Al-Ghazali bertujuan untuk membentuk individu yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki akhlak mulia, karakter yang kuat, dan spiritualitas yang tinggi. Hal ini seiring dengan konsep umum tasawuf akhlaqi yang dikembangkan oleh Al-Ghazali melalui ajaran-ajaran sufistiknya sebagaimana tertuang dalam banyak karya tulisnya.
Kelima, pembelajaran yang menekankan pada pendidikan intelektual (ta’lim al-‘aql). Sebagaimana dicatat dalam sejarah, Al-Ghazali adalah tipologi pemikir kritis yang pernah berdebat sengit dengan para filosof. Satu karyanya yang sangat terkenal berisi kritik tajam dalam bidang filsafat adalah “tahafut al-falasifah” (kerancuan filsafat). Lalu ditanggapi oleh Ibnu Rusyd dengan kitabnya berjudul “tahafut al-tahafut”.
Sikap kritis Al-Ghazali tersebut memberi pelajaran berharga bahwa pembelajaran harus memberi ruang dan iklim yang dapat menumbuhkan daya kritis anak didik. Daya kritis ini biasa disebut dalam istilah teori Barat dengan “critical thinking“. Pembelajaran yang diciptakan untuk menumbuhkan sikap “critical thinking” sangat diperlukan agar anak didik tumbuh dan berkembang daya nalarnya yang dimilikinya dalam sistem kepribadian utuh yang diberikan oleh Allah, yaitu ruh, aql, qalb, dan nafs.
Keenam, pembelajaran yang mampu menumbuhkan kecerdasan interpersonal (ta’lim al–mu’asyarah). Model pembelajaran ini bertujuan untuk membekali anak didik memiliki keterampilan sosial, mampu berinteraksi dengan orang lain dan masyarakat. Model pembelajaran ini menunjukkan bahwa Imam Al-Ghazali sangat visioner dalam pembentukan generasi yang memiliki skill (ketarampilan) sosial.
Dalam psikologi, keterampilan sosial disebut kecerdasan sosial (Social Quotient). SQ merupakan kemampuan individu dalam menggunakan kepintarannya dalam bernegosiasi dan melakukan hubungan sosial yang kompleks di lingkungannya. Para psikolog mempercayai kecerdasan sosial sebagai ‘kekayaan’ kualitas hidup yang berhubungan dengan keadaan sekitarnya. Anak didik yang memiliki “social awareness” akan mampu mengubah situasi sosial yang rumit.
Itulah beberapa model pembelajaran Imam Al-Ghazali yang cukup menarik untuk terus dikembangkan. Artinya, teori-teori modern dalam pembelajaran sesungguhnya telah diajarkan oleh para tokoh muslim masa lalu yang masih tetap relevan dengan konteks masa kini. Masalahnya, apakah para guru mau dan mampu menjadi seorang pembelajar agar dapat mengajarkan anak didik belajar tentang cara belajar hidup. []
Thobib Al-Asyhar (dosen Psikologi Sufistik SKSG Universitas Indonesia, Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah Kemenag RI)